Selasa, 11 Februari 2014

Presiden INDEPENDEN


Setelah merenung dan berdiam saja di bawah atap selebar sat kali dua meter dan di bawah lampu neon yang dipenuhi semut hitam kecil, saya ingin mengatakan bahwa saya benar untuk hari ini. Saya kembali menulis dan menghitung untuk orang lain. Saya yakin benar untuk hari ini dan berharap besok lebih berarti lagi. Saya kembali berpikir ulang untuk menulis kembali judul saya terkait pemilu bulan lalu (lebih tepatnya tentang keraguan saya akan pemilihan presiden tanpa menunggu pemilu legislatif). Saya kembali merenungkan setelah mendengar kalimat dan janji Pak Habibie, mantan presiden ketiga Republik Indonesia tercinta.

Beliau setuju dengan presiden independen. Saya kaget kok bisa? Setelah yang saya katakan di post sebelumnya bahwa saya takut terjadinya ketimpangan ketika presidensial tidak didukung oleh parlementer atau legislatif karena semua kebijakan pemerintah itu harus didukung parlemen jika ingin digolkan menjadi peraturan. Tentu ketika DPR tidak menyetujui beberapa rancangan kebijakan presiden, kebijakan tidak dapat diaplikasikan kepada rakyat. Itulah fungsi legislatif. Hal ini dilakukan agar kekuasaan presidensial tidak terlalu dominan dan mengalahkan legislatif yang dianggap sebagai perwakilan rakyat di pemerintahan. Sering terjadi ketidaksinkronan antara parlemen dan presiden. Namun saya kembali melihat hal lain.

Sesuatu tidak dapat dilihat hanya satu sudut yaitu demi hanya ketidatimpangan atau demi menghindari adu pendapat tetapi memang adu pendapat perlu terjadi. Mengapa perlu? Baik saya akan ceritakan secara runtut dari bawah ketika presiden diajukan dengan tanpa melihat suara partai di parlemen atau presiden independen tanpa menunggang partai. Dua hal ini tentu berbeda. Yang satu bisa saja memang suara partai di parlemen memang tinggi, atau suara partai di parlemen memang ada tetapi kecil. Sedangkan yang satunya, presiden tanpa ada partai yang mendukungnya secara finansial di pemerintahan, maksudnya tidak ada tunggangan partai untuk naik menjadi presiden.  

Presiden dipilih dengan cara demikian tentu kalau kita merenung mungkin satu dia berjuang untuk dirinya sendiri (kepentingan pribadi) atau benar-benar demi untuk kepentingan rakyat. Habibie berharap bahwa ketika dia maju independen menjadi presiden, dia bekerja tanpa perlu memperhatikan kepentingan partainya. Dia bekerja bukan untuk partainya. Dia bekerja hanya untuk rakyat. Ide ini tentu sangat brilian bahwa presiden dari independen maupun dari partai terlepas dari kepentingan mana pun, apalagi partainya. Memag seharusnya demikian, ketika dia sudah menjadi presiden, partai tidak menganggu presiden dan minta’jatah’. Itu bukan negarawan. Seharusnya kita tahu bahwa presiden bekerja untuk rakyat bukun untuk partai.

Lihat sekarang saja, orang dari partai tertentu yang sudah masuk ke pemerintahan bukannya lepas dari partai, malah direkrut untuk menjadi ketua pembina, ketua umum, atau pengurus aktif di partainya. Hal ini terlihat bahwa partai hanya menginginkan pengaruh orang ini agar mampu mempengaruhi kebijakan partai di pemerintahan agar kepentingan partai dilindungi. Saya beri contoh masalah pajak. Orang tidak suka bayar pajak. Orang dari partai yang mempunya perusahaan besar ingin ada temannya di pemerintahan membuat kebijakan atau hukum agar membantu dia untuk memperingan pembayaran pajak. Bisa saja penghindaran pajak yang legal karena kebijakannya sudah terbuka untuk dicurangi. 

Lihat kembali partai sekarang, ketika mungkin saja dia hanya mendapat sura 20 persen saja, namun karena beruntung orang dari partainya lah yang menjadi pemimpin negara atau pemimpin pemrintah bagian lainnnya, merasa bahwa partainya lah partai penguasa. Mereka lupa kalau ada 80 persen suara partai lainnya. Sangat disayangkan hal ini terjadi. Belum tentu partai ini kuat suaranya namun orang di partainyalah yang menjadi presiden. Ini hanya kebruntungan semata terlihat. Seorang negarawan menurut Anies Baswedan kala itu adalah ketika dia turun dari jabatan presiden, dia tidak menganggu proses pemilihan presiden selanjutnya dan hanya memberi nasihat saja kepada penerusnya.

Habibie berharap bahwa orang sudah pernah berkuasa seharusnya memberikan kekuasaannya kepada orang yang lebih muda untuk meneruskan perjuangan. Dalam pikiran saya, kalau saya memilih Prabowo, Aburizal Bakrie, Wiranto, dll yang merupakan jagoan tua akan tetap melakukan hal yang pernah dilakukan pemerintah sbelumnya karena mereka terpengaruh era 45, era lama yang perlu pembaharuan. Slogan dapat dibohongi umur tidak dibohongi.

Sebut saja Wiranto, kenapa beliau sangat terkenal saat ini padahal dahulu dia sangat tidak diandalkan menjadi presiden. Tentu alasannya karena pasangannya, yaitu pemilik MNC group yang kaya raya. Hary Tanoe selalu berpindah partai sebelumnya sebelum masuk ke partai Hanura. Hal ini patut dicurigai karena dia hanya mau masuk ke partai dan membantu partai tersebut jika dia dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden atau dijanjikan jabatan penting lainnya di pemerintahan. Saya tidak mampu berprasangka baik. Mungkin dia bermaksud juga untuk memajukan rakyat dengan memberikan lapangan pekerjaan melalui stasiun tv nya. Namun, mungkin juga dia ingin membuat kebijakan yang mungkin membantu dalam mengembangkan bisnisnya. Saya tidak tahu sesungguhnya. Namun, jika dia ingin membantu secara riil mengapa harus menunggu jadi wakil presiden. Dia menjadi CEO saja sudah mampu membantu orang lain. Ingat, dia pun akan terkendala ketika suara di parlemen tidak banyak menyetujuinya. Namun, lobi bisa saja dilakukan nanti ketika menjadi presiden atau wakil presiden. Yang penting jadi dulu.

Presiden memang bisa saja dicalonkan dari independen karena diharapkan dia terlepas dari pengaruh dan kepentingan partai yang biasanya meminta balas budi ketika dia menjadi pemimpin negara. Namun, saya tetap berharap bahwa partai politik sebagai wadah rakyat untuk belajar politik. Oleh karena itu, presiden kalau bisa dari partai politik. Dan ketika dia akhrinya menjadi presiden, partai tidak perlu menarik lengan baju presidennya untuk minta upah karena presiden sudah lepas dari partai. Partai pun sadar bahwa presiden dulu maupun sekarang bekerja untuk rakyat BUKAN untuk partai. Partai bukan sekedar tunggangan, dia adalah wadah belajar mencetak bibit unggul pemuda penerus pemimpin bangsa dan tetap partai akan bejalan menjadi alat kader yang baik bukan untuk memuluskan kepentingannya tetapi untuk kepentingan bersama. 

Berpolitik? Tentunya tidak semua orang berpolitik praktis. Jika semua berpolitik yang bekerja siapa? Benar-benar pernyataan menarik dari Habibie. Saya rasanya sadar bahwa saya tidak mampu terjun ke politik tetapi saya mampu bekerja. Itu saja sudah menjadi bentuk bakti saya kepada negara tanpa masuk parti politik. Saya cukup menulis memberikan info, politik melalui media tentunya. 

Semoga tulisan saya menjadi bahan perenungan teman-teman terkait pemilihan presiden. Ingat. Bekerjalah untuk kepentingan bangsa! Bukan untuk Partai!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar